Selama pandemi Covid-19 yang sudah berlangsung sejak 2020, diperkirakan prevalensi masyarakat Indonesia yang menderita depresi atau gangguan mental semakin meningkat. Pada dua tahun sebelumnya, berdasarkan catatan Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, prevalensi penderita depresi di Indonesia sebesar 6,1 persen pada tahun 2018. Para ahli selalu menyarankan, setiap orang yang mengalami depresi atau gangguan mental harus segera mencari bantuan untuk bisa mengatasi persoalan yang sedang dihadapinya.
Salah satu cara untuk mendapatkan bantuan tersebut adalah dengan berkonsultasi dengan psikolog. Namun, bukan rahasia lagi bahwa masih banyak kelompok masyarakat Indonesia yang enggan pergi ke psikolog untuk berkonsultasi mengenai masalah atau gangguan mental yang dimilikinya. Sebenarnya, apa yang membuat seseorang ragu untuk pergi ke psikolog?
Membantu menjawab pertanyaan mendasar ini, Psikolog dari aplikasi konseling online Riliv, Della Nova Nusantara MPsi Psikolog menjelaskan beberapa hambatan atau kendala yang membuat seseorang ragu untuk pergi berkonsultasi ke psikolog. Di antaranya sebagai berikut.
1. Stigma sosial tentang gangguan kesehatan jiwa (mental)
Seperti diketahui, sejak lama masyarakat Indonesia menganggap gangguan jiwa sebagai sesuatu yang tabu. Della mengatakan, dengan stigma bahwa gangguan jiwa itu tabu, maka kebanyakan dari kita tidak ingin menjadi bahan pembicaraan orang lain sebagai seseorang dengan perilaku yang menyimpang dari norma sosial. Padahal, Della menegaskan, gangguan kesehatan mental itu bukan hal yang tabu dan bukan sebuah aib besar. "Gangguan kesehatan mental itu bukanlah hal yang tabu, bukan pula aib. Ini sama seperti saat fisik kita kalau sedang terluka, capek, kadang butuh istirahat, butuh treatment yang tepat sesuai dengan kebutuhannya saat itu seperti istirahat atau mungkin olahraga," kata Della melalui keterangan tertulisnya yang diterima Kompas.com.